Perjalanan Syekh Yusuf al-Makassari dari Sulawesi Selatan Hingga Afrika Selatan
Menelusuri Jejak Syekh Yusuf al-Makassari
Syekh Yusuf al-Makassari adalah seorang tokoh yang memiliki perjalanan hidup yang menginspirasi. Ia lahir di Sulawesi Selatan pada tahun 1626 dan menjadi salah satu ulama terkemuka pada masanya. Namun, kisah hidupnya tidak terbatas hanya di Indonesia, karena ia melakukan perjalanan yang panjang dan mengesankan hingga ke benua Afrika Selatan.
Sudah 324 tahun dalam perhitungan Masehi atau 333 tahun dalam hitungan Hijriah, Syekh Yusuf al-Makassari wafat di bumi nun jauh dari tanah kelahirannya. Ulama yang memegang sanad sejumlah tarekat ini wafat di Afrika Selatan pada 22 Mei 1699 M atau bertepatan dengan 22 Dzulqa’dah 1111 H sebagaimana dicatat Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (2018) mengutip de Haan dalam Priangan III.
Awal Mula Perjalanan
Syekh Yusuf al-Makassari tumbuh dalam lingkungan yang religius di Sulawesi Selatan. Sejak usia muda, ia menunjukkan minat yang besar dalam studi agama dan terus mengejar ilmu pengetahuan. Ia belajar di berbagai pesantren dan mendalami ilmu agama Islam dengan tekun.
Kedatangan di Batavia
Pada suatu waktu, Syekh Yusuf al-Makassari memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Batavia, yang saat ini dikenal sebagai Jakarta. Di sana, ia bertemu dengan banyak ulama dan cendekiawan Muslim yang menjadi pengaruh besar bagi perkembangan pemikirannya. Ia juga terlibat dalam diskusi dan debat intelektual yang memperluas wawasannya.
Pengasingan ke Makassar
Namun, perjalanan hidup Syekh Yusuf al-Makassari tidak selalu berjalan mulus. Ia menjadi terlibat dalam perjuangan melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai wilayah Indonesia. Akibat perlawanannya yang gigih, ia akhirnya diasingkan ke Makassar oleh Belanda pada tahun 1693.
Di sana, ia menjadi salah seorang yang diasingkan karena keteguhannya memegang prinsip untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme yang dilakukan Belanda. Disebutkan Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015), Syekh Yusuf dikenal sebagai mujahid penentang Belanda, selain penyebar tarekat Khalwatiyah.
Perjalanan ke Afrika Selatan
Meskipun diasingkan, semangat dan semangat Syekh Yusuf al-Makassari tidak pernah surut. Ia melanjutkan perjalanan panjangnya ke Afrika Selatan pada tahun 1694, tepatnya pada tanggal 2 April. di Tanjung Harapan. Di sana, ia memimpin komunitas Muslim dan memainkan peran penting dalam pengembangan agama dan budaya Islam di wilayah tersebut.
Pengasingan ini dilakukan karena sosoknya masih membawa pengaruh besar bagi perjuangan masyarakat Indonesia meskipun keberadaannya di Sri Lanka. Pasalnya, sejumlah jamaah haji dan Muslim pedagang singgah ke negeri tersebut dan menemuinya.
Kemudian, mereka membawa pulang sejumlah karya dari ulama kelahiran Makassar, 8 Syawal 1036 H atau bertepatan 3 Juli 1626 M itu. Ada pula karya-karya ulama Nusantara yang dibawa ke tanah tersebut, seperti karyanya Syekh Nuruddin al-Raniri dan Syekh Abdur Rauf al-Sinkili.
Kehidupan di Afrika Selatan
Selama tinggal di Afrika Selatan, Syekh Yusuf al-Makassari mempraktikkan agama Islam dengan teguh dan memberikan pengajaran kepada umat Muslim setempat. Ia juga terus mempelajari dan mengembangkan pemikiran keagamaan. Kontribusinya dalam membangun hubungan antara masyarakat Muslim Afrika Selatan dengan Indonesia sangat dihargai.
Tak pelak, pengasingannya di Sri Lanka itu tidak membuatnya putus kontak dengan jejaringnya. Bahkan, ia juga berhubungan dengan beberapa ulama India, seperti Sidi Matilaya, Abu al-Ma’ani Ibrahim Minhan, dan Abd al-Shiddiq bin Muhammad Shadiq. Karenanya, Belanda mengambil sikap untuk kembali menjauhkan sosok ulama penting itu ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Harapannya, Syekh Yusuf tidak dapat lagi berkontak dengan jejaringnya di tanah jajahan Belanda, Nusantara.
Di usianya yang sudah menginjak 68 tahun, Syekh Yusuf Makassar dipaksa untuk kembali berlayar dengan menaiki kapan de Voetbong. Dari Sri Lanka, ia dikirim sebagai pengasingan bersama 49 pengikutnya di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Ia bersama rombongannya itu kemudian dibawa oleh penguasa Belanda ke Zandvliet, sebuah desa pertanian di mulut Sungai Eerste. Wilayah itu kini juga dikenal sebagai Macassar.
Kehidupan di Nusantara
Keberadaannya sebagai tokoh dengan segala keilmuan dan haibahnya sebagai ulama, sosoknya tak bisa redup. Ia menjadi titik sentral bagi banyak orang Nusantara yang berada di sana. Penguasa Belanda tak berkutik untuk memisahkannya dengan para pengikutnya. Bahkan, banyak yang mengikrarkan syahadat di hadapan Syekh Yusuf mengingat upayanya bersama para pengikutnya untuk terus memperkuat keimanan dan keislaman mereka di tanah pengasingan itu dengan menggelar berbagai kegiatan ibadah secara diam-diam.
Syekh Yusuf sempat tinggal di Banten beberapa waktu dan memberikan pengajaran kepada putra mahkota di sana, yaitu Sultan Abun Nasr Abdul Qahhar (Sultan Haji). Dari sinilah, pada tahun 1683, ia kemudian diasingkan ke Sri Lanka, tepatnya di Ceylon. Hal ini karena ia memimpin gerilya yang terdiri dari kebanyakan orang Makassar setelah melihat VOC turut campur atas nama muridnya, Sultan Haji. Sebab, Syekh Yusuf sendiri lebih memihak kepada ayah muridnya itu, yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Ia dan pasukannya tertawan setelah terus dikejar pasukan Belanda di daerah pegunungan di Jawa Barat. (Bruinessen, 2015).
Syekh Yusuf merupakan salah seorang murid dari Syekh Ibrahim al-Kurani, ulama kenamaan di Madinah yang juga gurunya Syekh Abdur Rauf al-Sinkili. Di Arab sana, dua dekade ia habiskan untuk mengenyam studi kepada sejumlah ulama, selain juga mengambil pengetahuan dari persinggahannya di beberapa wilayah.
Akhir Hayat Syekh yusuf Al-Makassari
sepulangnya dari tanah suci itu, ia tak kembali ke tanah airnya, Makassar. Martin (2015) menduga hal tersebut karena tanah kelahirannya itu telah ditundukkan Kerajaan Bugis Bone yang berkooperasi dengan Belanda pada tahun 1669. Karenanya, Syekh Yusuf memilih singgah dan tinggal di Banten, sebelum kemudian ia sendiri diasingkan dua kali, ke Ceylon, Sri Lanka dan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Meskipun sempat dimakamkan di tanah pengasingannya itu, tetapi jasadnya diminta dipulangkan ke tanah kelahirannya, Makassar pada tahun 1705 M. Tak pelak, kubur ulama ini ada dua, yakni di Makassar, Sulawesi Selatan dan di Macassar, Afrika Selatan. Untuk Syekh Yusuf al-Makassari, al-Fatihah.
Sumber : Nu Online dan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)