Kisah Ibu Pemasak Batu pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Kisah Ibu Pemasak Batu pada Masa Khalifah Umar bin Khattab - Dalam sejarah Islam, terdapat kisah menakjubkan yang mengisahkan tentang keberanian dan kesetiaan seorang ibu pemasak batu pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Kisah ini bukan hanya menginspirasi, tetapi juga memperlihatkan betapa kuatnya iman dan dedikasi seseorang terhadap nilai-nilai agama dan keadilan.
Latar Belakang Kisah
Ketika Khalifah Umar bin Khattab memimpin umat Islam, beliau dikenal dengan keadilan dan ketegasannya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin. Beliau adalah pemimpin yang sangat mencintai rakyatnya dan senantiasa berusaha menjaga kesejahteraan mereka. Namun, dalam masa pemerintahannya, terdapat tantangan dan ujian yang harus dihadapi oleh umat Islam.
Kisah Ibu Pemasak Batu
Ada sebuah kisah menarik mengenai seorang ibu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Kala itu, beliau dikenal sebagai pemimpin yang adil dan sangat peduli pada rakyatnya.
Dikisahkan dalam buku Kisah dan Hikmah susunan Dhurorudin Mashad, ketika malam menjelang dini hari Umar bin Khattab melakukan kebiasaan rutinnya yaitu berjalan bersama sang pengawal untuk melihat kondisi rakyat. Sesampainya di dusun kecil terpencil, terdengar suara tangis anak kecil.
Tangisan anak kecil ini memilukan hati Umar. Akhirnya, ia mencari sumber suara tangis yang ternyata berasal dari rumah gubuk sederhana. Bangunan itu terbuat dari kulit kayu, di dalamnya ada seorang ibu yang tengah duduk di depan tungku seperti sedang memasak. Sang ibu sesekali mengaduk panci seraya membujuk anaknya untuk tidur.
"Diamlah wahai anakku. Tidurlah kamu sesaat, sambil menunggu bubur segera masak," katanya.
Akhirnya sang anak tertidur. Namun tak lama setelahnya ia kembali terbangun dan menangis lagi. Kejadian ini terus berulang sampai akhirnya memancing Umar untuk mengecek apa yang sebenarnya dikerjakan oleh ibu tersebut.
Perlahan Umar mendekat, ia mengetuk pelan sambil mengucap salam. Tak ingin identitasnya diketahui, Umar bertamu dalam keadaan menyamar.
Setelah pintu dibuka, Umar menanyakan terkait apa yang dimasak ibu tersebut dan apa yang menyebabkan putranya menangis terus-menerus.
Dengan sedih, sang ibu menceritakan keadaannya. Ia menyebut anaknya menangis karena lapar padahal ia tak punya makanan apapun di rumah.
Ibu itu juga mengatakan bahwa yang dimasaknya adalah sebongkah batu untuk menghibur si anak. Ini dilakukan seolah-olah ia tengah memasak membuat makanan. Selain itu, ibu tersebut bahkan sempat mengumpat kesal terhadap sang pemimpin pada masa itu yang mana Umar bin Khattab sendiri.
"Celakalah Amirul Mu'minin ibnu Khattab yang membiarkan rakyatnya kelaparan,"
Mendengar hal itu, Umar lalu pergi dan menangis memohon ampun kepada Allah SWT. Ia merasa menjadi pemimpin yang teledor sampai-sampai tidak tahu ada rakyatnya yang kesusahan.
Tanpa berpikir panjang, Umar bin Khattab pulang dan mengambil sekarung gandum. Dibawanya seorang diri karung gandum itu di punggungnya sambil menuju ke rumah ibu yang memasak batu.
Melihat hal itu, pengawal Umar menawarkan diri untuk membantu. Sayangnya, Umar justru menolak.
"Apakah kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibanding siksaan Allah di akhirat nanti," kata Umar yang terus membawa karung gandum tersebut.
Sesampainya di rumah ibu tersebut, Umar langsung memasakkan sebagian gandum untuk dijadikan makanan. Setelah matang, ibu dan anak itu dipersilakan makan hingga kenyang.
Setelah selesai, Umar segera pamit ke ibu dan anak itu. Ia juga berpesan agar esoknya anak dan ibu tersebut datang ke Baitul Mal menemui Umar untuk mendapat jatah makan dari negara.
Sang ibu mengucapkan terima kasih sambil berkata, "Engkau lebih baik dibanding Khalifah Umar," ucapnya.
Keesokan harinya, sang ibu datang ke Baitul Mal untuk meminta jatah tunjangan pangan bagi diri dan anaknya. Umar menyambut dengan senyum bahagia.
Saat ibu itu menyadari bahwa orang yang membantunya di malam buta adalah Umar sang Amirul Mu'minin, ia langsung terkejut. Umar menyambut si ibu sambil mendekat dan menyampaikan permohonan maafnya.
Beliau tidak sungkan menyampaikan permohonan maafnya sebagai seorang pemimpin.
Semoga kisah tersebut dapat menginspirasi kita untuk selalu tetap bersyukur atas semua kenikmatan yang sudah diberikan oleh Allah SWT. Amin.